“Aku
dilahirkan di London, jantung dunia Barat. Aku
dilahirkan di era televisi dan angkasa luar. Aku dilahirkan di era teknologi
mencapai puncaknya di negara yang terkenal dengan peradabannya, negara Inggris
Raya. Aku tumbuh dalam masyarakat tersebut dan aku belajar di Sekolah Katholik
yang mengajarkanku tentang agama Nashrani sebagai jalan hidup dan kepercayaan.
Dari sini pula aku mengetahui apa yang harus kuketahui tentang Allah, Al-Masih
‘alaihis salam dan taqdir, yang baik maupun yang buruk. Mereka banyak
memberitahuku tentang Allah, sedikit tentang Al-Masih dan lebih sedikit lagi
tentang Ruhul Qudus (Jibril).
Kehidupan di sekelilingku adalah
kehidupan materi. Paham materialis gencar diserukan dari berbagai media
informasi. Mereka mengajarkan, kekayaan adalah kekayaan harta benda yang
sesungguhnya dan kefakiran adalah ketiadaan harta benda secara hakiki. Amerika
adalah contoh negara kaya dan Negara-negara Ketiga adalah contoh kemiskinan,
kelaparan, kebodohan dan kepapaan.
Karena itu, aku harus
memilih dan meniti jalan kekayaan. Supaya aku bisa hidup bahagia. Supaya aku
mendapatkan kenikmatan hidup. Karena itu, aku membangun falsafah hidup bahwa
dunia tidaklah ada kaitannya dengan agama.
Falsafah inilah yang aku jalani, agar aku mendapatkan kebahagiaan jiwa. Lalu aku mulai melihat kepada sarana untuk meraih kesuksesan. Dan cara yang paling mudah menurutku adalah dengan membeli gitar, mengarang lagu dan menyanyikannya sendiri. Aku lalu tampil di hadapan mereka. Inilah yang benar-benar aku lakukan dengan membawa nama Cat Stevens.
Falsafah inilah yang aku jalani, agar aku mendapatkan kebahagiaan jiwa. Lalu aku mulai melihat kepada sarana untuk meraih kesuksesan. Dan cara yang paling mudah menurutku adalah dengan membeli gitar, mengarang lagu dan menyanyikannya sendiri. Aku lalu tampil di hadapan mereka. Inilah yang benar-benar aku lakukan dengan membawa nama Cat Stevens.
Dan tidak berapa lama, yakni ketika
aku berusia 18 tahun aku telah menyelesaikan rekaman dalam delapan kaset.
Setelah itu banyak sekali tawaran. Dan aku pun bisa mengumpulkan uang yang
banyak. Di samping itu, pamorku pun mencapai puncak. Ketika aku berada di
puncak ketenaran, aku melihat ke bawah. Aku takut jatuh! Aku dihantui
kegelisahan. Akhirnya, aku mulai minum minuman keras satu botol setiap hari.
Supaya memotivasi keberanianku untuk me-nyanyi.
Aku merasa,
orang-orang di sekelilingku berpura-pura puas. Padahal dari wajah mereka,
tak seorang pun tampak puas, kepuasan yang sesungguhnya! Semuanya harus
munafiq, bahkan dalam jual beli dan mencari sesuap nasi, bahkan dalam hidup!
Aku merasa, ini adalah sesat. Dari sini, aku mulai membenci kehidupan-ku
sendiri. Aku menghindar dari orang banyak. Aku lalu jatuh sakit. Aku kemudian
opname di rumah sakit karena sakit paru-paru. Ketika di rumah sakit, kondisiku
lebih baik karena mengajakku berfikir.
Aku memiliki iman kepada Allah.
Tetapi gereja belum mengenalkanku siapakah Tuhan itu dan aku tak mampu sampai
pada hakikat Tuhan sebagaimana yang dibicarakan gereja! Pikiranku buntu. Maka
aku memulai berfikir kepada jalan hidup yang baru. Aku memiliki buku-buku tentang
aqidah dan masalah ketimuran. Aku mencari tentang Islam dan hakikatnya. Dan
seperti ada perasaan, aku harus menuju pada titik tujuan tertentu, tetapi aku
tidak tahu keberadaan dan pengertiannya.
Aku tidak puas
berpangku tangan, duduk dengan pikiran kosong. Aku mulai berfikir dan mencari
kebahagiaan yang tidak kudapatkan dalam kekayaan, ketenaran, puncak karir
maupun di gereja. Maka aku mulai mengetuk pintu Budha dan Falsafah Cina. Aku
pun mempelajarinya. Aku mengira, kebahagiaan adalah dengan mencari berita apa
yang terjadi di hari esok, sehingga kita bisa menghindari keburukannya. Aku
berubah menjadi penganut paham Qadariyah.
Aku percaya dengan
bintang-bintang, mencari berita apa yang akan terjadi. Tetapi semua itu ternyata keliru. Aku lalu pindah kepada
ajaran komunis. Aku mengira bahwa kebajikan adalah dengan membagi kekayaan alam
ini kepada setiap manusia. Tetapi aku merasa bahwa ajaran komunis itu tidak
sesuai dengan fitrah manusia. Sebab ke-adilan adalah engkau mendapatkan sesuai
apa yang telah engkau usahakan, dan ia tidak lari ke kantong orang lain.
Lalu aku
berpaling pada obat-obat penenang. Agar aku memutuskan mata rantai berbagai
pikiran dan kebimbangan yang menyesakkan. Setelah itu aku mengetahui bahwa
tidak ada aqidah yang bisa memberikan jawaban kepadaku. Yang bisa menjelaskan
kepadaku hakikat yang sedang aku cari. Aku putus asa. Dan ketika itu, aku belum
mengetahui tentang Islam sama sekali. Maka aku tetap pada keyakinanku semula,
pada pemahamanku yang pertama, yang aku pelajari dari gereja. Aku menyimpulkan
bahwa kepercayaan-kepercayaan yang aku pelajari itu adalah keliru. Dan bahwa
gereja sedikit lebih baik daripadanya. Aku kembali lagi kepada gereja.
Aku kembali mengarang musik seperti
semula. Dan aku merasa Kristen adalah agamaku. Aku berusaha ikhlas demi
agamaku. Aku berusaha mengarang lagu-lagu dengan baik. Aku berangkat dari
pemikiran Barat yang bergantung pada ajaran-ajaran gereja. Yakni ajaran yang
memberikan inspirasi kepada manusia bahwa dia akan sempurna seperti Tuhan jika
dia melakukan pekerjaannya dengan baik serta ia mencintai dan ikhlas terhadap
pekerjaannya.
Pada tahun 1975
terjadi suatu mu’jizat. Yakni ketika saudara kandungku tertua memberiku hadiah
satu mushaf Al-Qur’an. Mushaf itu masih tetap bersamaku sampai aku mengunjungi
Al-Quds di Palestina. Setelah kunjungan tersebut, aku mulai mempelajari Kitab
yang dihadiahkan oleh saudaraku itu. Suatu Kitab yang aku tidak mengetahui apa
isi di dalamnya, juga tak kuketahui apa yang dibicarakannya.
Lalu aku mencari terjemahan Al-Qur’anul
Karim setelah aku mengunjungi Al-Quds. Pada pertama kalinya, melalui Al-Qur’an
itu, aku berfikir tentang apa itu Islam. Sebab Islam menurut pandangan orang
Barat adalah agama yang fanatik dan sektarian. Dan umat Islam itu adalah sama
saja. Mereka adalah orang-orang asing, baik bangsa Arab maupun Turki.
Kedua orang tua
saya adalah berdarah Yunani. Dan orang Yunani begitu bencinya kepada Turki Muslim.
Karena itu, seyogyanya aku membenci Al-Qur’an, yang ia adalah agama dan pedoman
orang-orang Turki se-bagai dendam warisan. Tetapi aku memandang, aku harus
mempelajarinya (terjemahnya). Tidak mengapa aku mengetahui isinya.
Sejak pertama, aku merasa bahwa
Al-Qur’an dimulai dengan Bismillah (dengan nama Allah). Bukan dengan nama
selain Allah. Dan ungkapan ‘Bismillahirrahmanirrahim’ (dengan nama Allah Yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang) begitu sangat berpengaruh dalam jiwaku. Lalu
surat Al-Fatihah itu berlanjut dengan Fatihatul Kitab (Pembukaan Al-Qur’an),
Alhamdulillahirabbil ‘alamin (segala puji bagi Allah Tuhan sekalian alam).
Segala puji milik Allah Sang Pencipta sekalian alam, dan Tuhan segenap makhluk.
Sampai waktu
itu, pemikiran saya tentang Tuhan begitu lemah tak berdaya. Mereka mengatakan
kepadaku, ‘Se-sungguhnya Allah adalah Mahaesa, tetapi terbagi menjadi tiga
dzat! Bagaimana? Saya tidak tahu!’ Dan mereka mengatakan kepadaku,
‘Sesungguhnya Tuhan kita bukanlah Tuhannya orang Yahudi..!’
Adapun Al-Qur’anul Karim, maka ia mulai
dengan ber-ibadah kepada Allah Yang Mahaesa, Tuhan segenap alam semesta.
Al-Qur’an menegaskan keesaan Sang Pencipta. Dia tidak memiliki sekutu yang
berbagi kekuasaan dengan-Nya. Dan ini adalah pemahaman baru bagiku. Sebelumnya,
sebelum aku mengetahui Al-Qur’anul Karim, aku menge-tahui adanya pemahaman
kesesuaian dan kekuatan yang mampu mengalahkan mu’jizat. Adapun sekarang,
dengan pemahaman Islam, aku mengetahui bahwa hanya Allah semata yang mampu dan
Mahakuasa atas segala sesuatu.
Hal itu masih dibarengi
dengan keimanan terhadap hari akhir dan bahwa kehidupan akhir itu adalah abadi.
Jadi, tidaklah manusia itu dari segumpal daging kemudian ber-ubah setiap hari
hingga berakhir menjadi debu, sebagai-mana yang dikatakan oleh para ahli
biologi. Sebaliknya, apa yang kita lakukan dalam kehidupan dunia ini sangat
menentukan keadaan yang akan terjadi dalam kehidupan di hari akhir nanti.
Al-Qur’anlah yang menyeruku kepada Islam. Maka aku pun memenuhi seruannya.
Adapun gereja yang menghancurkanku dan membuatku lelah dan letih, maka dialah
yang mengantarkanku kepada Al-Qur’an. Yakni ketika aku tak mampu menjawab
berbagai pertanya-an jiwa dan kalbuku. Di dalam Al-Qur’an, aku melihat sesuatu
asing. Ia tidak serupa dengan kitab-kitab lain. Ia tidak mengandung beberapa
bagian atau sifat-sifat yang ada dalam kitab-kitab agama yang telah kubaca. Di
sampul Al-Qur’an, juga aku tidak mendapatkan nama pengarangnya. Karena itu, aku
yakin betul dengan makna wahyu yang Allah wahyukan kepada nabi yang diutusNya.
Kini, aku telah jelas betul tentang perbedaan antara Al-Qur’an dengan Injil
yang di-tulis oleh tangan-tangan pengarang yang berbeda-beda sehingga
melahirkan kisah-kisah yang berbeda pula.
Aku berusaha untuk mencari kesalahan
di dalam Al-Qur’an, tetapi aku tidak menemukannya. Semua isi Al-Qur’an adalah
sesuai dengan pemikiran keesaan Allah yang murni. Dari sini, aku mulai mengenal
tentang apa itu Islam. Al-Qur’an bukanlah satu-satunya risalah. Sebaliknya, di
dalam Al-Qur’an didapatkan nama-nama semua nabi yang mereka itu dimuliakan
Allah. Al-Qur’an tidak membeda-bedakan antara satu dengan yang lainnya. Dan
teori ini adalah sangat logis. Sebab jika Anda beriman kepada seorang nabi dan
tidak kepada yang lain, berarti Anda telah menghancurkan adanya kesatuan
risalah.
Dari sejak itu,
aku memahami bagaimana berantainya risalah sejak awal penciptaan manusia. Dan bahwa manusia
sepanjang sejarah selalu terdiri dari dua barisan; mukmin atau kafir. Al-Qur’an
telah menjawab semua hal yang kupertanyakan. Dengan demikian aku merasa
bahagia. Kebahagiaan mendapatkan kebenaran.
Aku mulai membaca Al-Qur’an
semuanya, sepanjang satu tahun penuh. Aku mulai menerapkan pemahaman yang aku
baca dari Al-Qur’an. Saat itu aku merasa bahwa
akulah satu-satunya muslim di muka bumi ini. Lalu aku berfikir bagaimana aku
menjadi muslim yang sesungguhnya. Maka aku pergi ke masjid London dan aku
mengumumkan keislamanku. Aku mengatakan, ‘Asyhadu anlaa ilaaha illallaah wa
anna muhammadar rasuulullaah’ (Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak
disembah melainkan Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah).
Ketika itu,
aku yakin bahwa Islam yang kupeluk adalah risalah yang berat, tidak suatu
pekerjaan yang selesai dengan sekedar mengucapkan dua kalimah syahadat. Aku
telah dilahirkan kembali. Dan aku telah menge-tahui ke mana aku berjalan
bersama saudara-saudara muslimku yang lain dari hamba-hamba Allah. Sebelumnya,
aku sama sekali tidak pernah menemui salah seorang mereka. Seandainya pun ada
seorang muslim yang mene-muiku dan berusaha untuk mengajakku kepada Islam,
tentu aku menolak ajakannya karena keadaan umat Islam yang diremehkan dan
diolok-olok oleh media informasi barat. Bahkan media informasi Islam sendiri
sering meng-olok-olok hakikat Islam. Mereka justeru sering mendukung berbagai
kedustaan yang dilontarkan oleh musuh-musuh Islam yang mereka itu tidak mampu memperbaiki
bangsa mereka sendiri yang kini telah dihancurkan oleh penyakit-penyakit
akhlak, sosial dan sebagainya.
Aku telah mempelajari
Islam dari sumbernya yang utama, yaitu Al-Qur’anul Karim. Selanjutnya, aku
mempelajari sejarah hidup (sirah) Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bagaimana beliau dengan perilaku dan sunnahnya mengajarkan Islam kepada
umat Islam. Aku lalu mengetahui kekayaan yang agung dari kehidupan dan sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku sudah lupa musik. Aku bertanya kepada
kawan-kawanku, ‘Apa aku mesti melanjut-kan karir musikku?’ Mereka menasihatiku
agar aku ber-henti, sebab musik akan melalaikan dari mengingat Allah. Dan ini
bahaya besar. Aku menyaksikan pemuda-pemuda yang meninggalkan keluarga mereka
dan hidup di tengah-tengah musik dan lagu. Ini adalah sesuatu yang tidak
diridhai oleh Islam, yang menganjurkan dibangunnya generasi-generasi tangguh.
Itulah
kisah seorang penyanyi Inggris terkenal, Cat Stevens (Yusuf Islam) yang menolak
popularitas dan uang, karena ia menemukan apa yang ia cari sejak lama, yakni
kebenaran dan petunjuk, sumber kebahagiaan abadi, di dunia maupun di akhirat.
Karena itu, Allah menggantikan-nya dengan iman yang tidak ada sesuatu pun yang
menandingi nilainya, demi Allah!
Hidup tanpa iman adalah Neraka Jahim
yang tak tertahankan. Lalu, Allah juga menggantinya dengan kecintaan Allah
kepadanya. Karena Allah mencintai orang-orang beriman, bertakwa dan yang
berbuat baik. Maka Allah meng-gantinya dengan kecintaan makhluk yang ada di
langit dan makhluk yang ada di bumi kepadanya. Allah menggantinya dengan nama
harum di antara hamba-hamba Allah yang beriman, di Timur maupun di Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar